ATM

Sekarang ini orang bepergian jarang membawa banyak uang, apalagi sampai pakai koper segala. Kita tinggal ke ATM, semua beres…
Istilah ATM umumnya kita tahunya berasal dari bahasa inggris yaitu: Automatic Teller Machine, yang kemudian diIndonesiakan menjadi Anjungan Tunai Mandiri. Namun tahukan anda bahwa sebenarnya arti ATM sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu “Artha Tinggal Mencet”

KE PUNCAK MAHAMERU

Ini kisah bukanlah sembarang kisah karena ini adalah kisah nyata, kisah tentang suatu perjalanan ke puncak tertinggi di pulau jawa.. puncaknya gunung Semeru, puncak Mahameru, dan kisah perjalanan mengarungi lautan pasir menuju Gunung Bromo.
Kami satu team pecinta alam berjumlah sepuluh cowok, memulai kisah perjalanan ini di sore hari tanggal 14 Agustus dengan terlebih dulu berkumpul di alun alun depan masjid. Setelah upacara seremonial yg dilanjutkan dengan pembekalan oleh “kepala suku” dan do’a dari sesepuh, kami berangkat dengan mobil carteran menuju terminal Terboyo Semarang. Di terminal Terboyo, kami menambah bekal yg blm komplit sekalian rehat sambil menunggu waktu sholat maghrib dan isya’.
Jam delapan malam, bus yg kami tumpangi berangkat menuju Surabaya. Selama di perjalanan, kami tidak banyak bercakap, hanya mengantuk dan kadang sesekali tertidur. Hari sudah berganti ketika kami sampai di terminal Bungurasih Sidoarjo yaitu tanggal 15 Agustus jam dua dini hari.
Masih sambil dalam keadaan mengantuk, kami turun dan langsung oper naik bus patas menuju Terminal Arjosari Malang. Ketika kaki menginjakkan pintu bus, udara dingin AC langsung menyergap, saya yang cuma memakai T-Shirt merasa kedinginan juga namun karena baju hangat ada didalam tas dan malas untuk bongkar bongkar, ya kunikmati saja rasa dingin ini. Ketika didalam bus itulah mata kami sempat tertuju pada cewek yg naik sendirian dengan membawa tas gunung. Hanya temanku ‘tarr’ yang bicara “tu ada cewek, mau ke semeru jg kayaknya”, aku hanya buka mata sebentar mendengarnya. Kebetulan cewek tersebut duduk di jok dua baris didepan tarr yang kebetulan memang kosong.
Kami sampai terminal Arjosari Malang jam empat pagi. Masih agak mengantuk dan lesu, kami turun dari bus dan mencari angkutan menuju Tumpang. Sambil menunggu angkot yang datang, ku gelar matras kecil buat duduk. ‘Nick’ temanku sempat membeli apel yg dijajakan di terminal. Teman teman yang lain pada bilang “kita pulangnya masih lama, belinya ntar aja kalo udah mau pulang”, tapi nick tetap saja nekat membeli apel.
Ketika angkot datang, kami langsung naek sedang tas tas kami ditaruh diatas dengan diikat tambang. sekitar setengah jam dalam perjalanan dan masih enak-enaknya ngantuk sambil dengerin lagu, tiba-tiba kami dikejutan dengan suara benda jatuh… ”bruuuggggh duug duugg duugg…..” akhirnya angkot berhenti dan kami pada keluar. Ternyata tas kami yang ditaruh diatas pada jatuh dan karena diikat pakai tambang jadinya terseret angkot dan pada mengalami kerusakan kecil. Dan apel yang tadi dibeli di terminalpun sebagian ada menghitam karena terseret angkot. Aku sempat mencari-cari dan memeriksa dimana tasku, syukur alhamdulillah… ternyata tasku dan tas milik temanku ‘ipunk’ masih tetap nangkring diatas angkot.
Setelah tsemua tas dinaikkan dan di-pack kembali, akemudian perjalanan kami lanjutkan.
Kami sampai di pasar tumpang menjelang subuh dan langsung menuju masjid yang tak jauh dari situ. Setelah sholat subuh, sarapan dan lain lainnya, kami bersiap siap menunggu datangnya mobil carteran jeep hardtop menuju ranupane. Ternyata yang sudah antri menunggu sangatlah banyak karena waktu itu memang pas musim pendakian. Saya sempat bertanya pada orang yang mengkoordinir pemberangkatan ke ranupane, “angkutannya datangnya jam berapa pak??“, tanya saya, dan dijawab.. “ya nanti mas, harus antri dulu, nunggu… itu aja yang dari kemarin banyak yang belum berangkat kok”, katanya sambil menunjuk ke salah satu kelompok pendaki.
“Kalo begini kapan sampainya”, pikir kami. akhirnya kami berencana.. “kalo jeep datang kita langsung naek ajaaa, jangan pedulikan orang yang mengkoordinir itu”. Untuk melaksanakan rencana itu, kami bnenar-benar siap dengan tas sudah kami pegangi dan memang benar begitu mobil datang… tas langsung kami naikkan ke atas mobil dan kami langsung melompat naek. Dan akhirnya saat itu juga kami langsung berangkat menuju Ranu Pani. diperjalanan kami melewati kebun apel yang lagi pada panen dan kami dikasih beberapa buah, besar-besar dan sangat manis, “terima kasih pak, bu”.
Jauh setelah kebun apel, perjalanan semakin naek turun dengan kiri kanan pemandangan hutan yg sangat indah, di kejauhan tampak kabut tipis menyaput pepohonan. Dan ketika melewati tanjakan curam, mobilnya sempat tak kuat naik, mungkin karena memang over load atau karena mobilnya memang udah tua. Akhirnya saya turun untuk membantu mendorong… namun saya malah ditinggal lumayan jauh dan cukup capai juga untuk sampai ke mobil lagi.
Kami sampai di Desa Ranupani jam dua belas siang. Ranupani sendiri terletak di ketinggian 2.200 mdpl. Desa ini merupakan persinggahan terakhir pintu gerbang untuk mendaki Gunung Semeru. Di Desa ini terdapat 2 danau yaitu Ranupane dan Ranuregulo. Penduduk yang bermukim di Ranupane mayoritas  adalah suku Tengger yang begitu ramah pada pendatang. Mereka selalu tidak pernah lepas dari kain sarung yang berfungsi untuk menangkal dinginnya suhu udara di kawasan itu yang bisa mencapai 3 derajat pada musim kemarau.

Setelah ishoma dan mengurus perijinan, kami melanjutkan perjalanan menuju ranu kumbolo dengan berjalan santai sambil bercanda-tawa. Kami berbarengan dengan tiga cewek bule dan sempat say hallo juga namun trio cewek bule itu kemudian mengurungkan niatnya dan kembali ke base camp Ranupani. Selanjutnya kami melewati gapura selamat datang, kami terus barjalan ke kiri ke arah bukit. Jalur yg kami lewati awalnya landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi tumbuhan alang-alang. Disitu tak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100 meter. Juga terdapat banyak pohon tumbang dan ranting-ranting diatas kepala pada jalur yg kami lewati.
Awalnya kami berjalan berbarengan namun ditengah perjalanan, kami terpisah pisah juga.. si nick mlesat duluan jauh di depan dan agak jauh di blakang ada saya dan ipung dan sangat jauuh di belakangku ada tujuh teman lainnya yang memang masih satu kampung.
saya dan ipunk tak mampu mengejar nick yang begitu cepat berjalan sendirian. Saya sempat bcanda sama ipunk, “wah nick memang benar-benar seorang pendekar… pendek dan kekar, fisiknya benar benar prima”.
Setelah menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, kami sampai di Watu Rejeng. Disitu terdapat batu terjal yang sangat indah. Pemandangan sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. kami menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru.
Kemudian tak berapa lama berjalan, danau Ranu Kumbolo tampak dikejauhan. Kami segera bergegas mempercepat langkah menuju kesana. Ipunk bilang padaku, “sampai ranu kumbolo kamu mau mandi nggak?, aku mau mandi”, katanya. “aku ga akan mandi”, jawabku.
Saya dan ipunk sampai di Ranu Kumbolo jam tiga sore dan si nick udah senyum-senyum menyambut kami. Di sekitar danau udah banyak pendaki yg mendirikan tenda disitu. Setelah duduk-duduk sebentar mlepas lelah, saya mngambil wudhu untuk sholat dan ktika menyentuh air, ternyata nyeessss… terasa bgitu dinginnya. Ipunk yg tadinya berencana mau mandi juga mengurungkan niatnya. Setelah sholat, saya,nick dan ipunk kemudian mendirikan tenda tak jauh dari danau.
Sekitar jam lima sore, tujuh teman yang di belakang baru sampai dan segera bergabung dengan kami, saya ikut membantu mendirikan tenda. temanku ‘sogi’ sempat ngotot mau mandi di danau tapi teman-teman semuamelarangnya karena suhu udara udah sangat dinginnya.
Sejenak istirahat, temanku melihat si cewek yang bareng waktu naek bus surabaya-malang sampai di ranu kumbolo juga. entah gimana awal mulanya, teman teman sepakat menyuruhku untuk berkenalan, aku sendiri sempat menolak tapi semua pada mendesakku, jadinya terpaksalah aku dan akhirnya kami semua berkenalan juga dan ngobrol-ngobrol sebentar.
Malam hari berlalu begitu menyiksa karena sangat dinginnya. saat mau tidur, karena saya tak bawa sleeping bag, kedua kaki aku bungkus pake plastik kemudian aku pake kaos kaki, kemudian pake sepatu, kemudian aku bungkus lgi pake plastik besar, kemudian aku pake sarung, namun krn msh jg sgt dingin, akhirnya sluruh isi yg ada di tas aku kluarkn smua dan kdua kaki aku masukkan dlm tas. dan jadi agak lumayan juga biarpun masih trasa dingin.
Di pagi hari 16 Agustus, saat aku keluar dari tenda, ternyata terhampar salju2 tipis. tenda kecil milik ipunk tampak diatasnya dipenuhi salju dan ada satu botol air minum yg trtinggal diluar dan lupa dimasukkan kedalam tenda, airnya berubah jadi es batu. ada yg bilang malam itu suhunya mncapai minus tujuh derajat wkt dilihat di termometer. owwwwhh pantasss dingin puolll. Sogi bilang, “untung aku kemarin sore nggak mandi, kalau mandi bisa-bisa tadi malam membeku”.
Pemandangan di pagi itu sangatlah indah, matahari tampak dengan malu malu mengintip disela-sela bukit.
Setelah breakfast, kami berkemas kemas dan berfoto ria. kebetulan aku dari dulu memang ga’ begitu nyaman berfoto, jadi kalo session foto foto, aku lebih banyak minggir biarpun dipaksa sekalipun.
jam 09.00 WIB kami meninggalkan Ranu Kumbolo untuk melanjutkan perjalanan, bebanku semakin bertambah karena tenda yang semula dibawa teman kemudian dititipkan ke aku dan kutaruh disamping tas yang memang ada pengikatnya disebelah samping. Kami menyusuri pinggir danau, di perjalanan sepanjang pinggir danau kami menjumpai beberapa orang yang sedang asyik memancing. Tak jauh setelah melewati danau kemudian kami mendaki bukit yang dinamakan tanjakan cinta dengan pemandangan yang sangat indah di belakang kearah danau. Di depan bukit terbentang padang rumput yang luas yang dinamakan oro-oro ombo. Oro-oro ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus. Di kejauhan, dari balik Gunung Kepolo tampak puncak Gunung Semeru menyemburkan asap wedus gembel.
Selanjutnya kami memasuki hutan cemara, daerah ini dinamakan Cemoro Kandang. Kemudian sampailah di jambangan, disitu kami sempat berfoto sejenak dengan latar belakang puncak semeru yang sedang mengeluarkan asap.
Setelah itu kami melewati Pos Kalimati yang berada pada ketinggian 2.700 m, disitu ada juga yang mendirikan tenda untuk beristirahat. Pos ini berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara.
Perjalanan kami lanjutkan dan sampai di Arcopodo sekitar pukul lima sore, arcopodo sendiri berjarak satu jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam, dengan tanah yang mudah longsor dan berdebu.
Kami berkemah di Arcopodo di antara pohon pohon cemara dengan kondisi kemiringan sekitar dua puluh derajat. arcopodo berada diketinggian 2.900m, Arcopodo adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir.
Sepanjang bermalam di Arcopodo, di malam 17 Agustus, tak henti hentinya diliputi hujan debu yang berasal dari lereng gunung semeru yang ditiup angin. Setiap beberapa menit sekali terdengar suara krraaayyaaaakkk…. suara debu saat menerpa pepohonan dan tenda kami. Di malam itu, saya yang kebetulan menemani tarr menanak nasi diluar tenda, jadi sedikit kotor karena terkena debu. Dan nasi yang kami tanakpun sedikit kemasukan debu biarpun saat menanak pancinya ditutup, mungkin saat dibuka untuk diaduk itulah sedikit kemasukan debu, dan parahnya lagi nasinya tak bisa matang padahal sudah cukup lama menanaknya. Itu bisa jadi karena kami yang nggak bisa masak atau karena memang di pegunungan titik didihnya tak sampai 100C ( kalau nggak salah 97C), biarpun begitu, dalam keadaan lapar tetap nikmat juga kami menyantapnya dengan lauk mie dan ikan kaleng, sampai sampai kalengnyapun pengen disantap sekalian whahaha…
Bermalam dan tidur di Arcopodo ga ada nyenyak nyenyaknya juga (ga’ bisa tidur nyenyak gettoo..), lebih sering terjaganya karena selain dingin juga adanya suara dari hujan debu yang cukup mengganggu.
Sekitar jam 02.30 pagi di tanggal 17 Agustus, sudah rame terdengar suara orang, suara para pendaki yang akan menuju ke puncak. Jam 03.00 saya keluar untuk memeriksa keadaan dan ternyata memang benar para pendaki sudah pada bergerak menuju puncak. Segera saya balik ke tenda, kuambil air minum dan roti secukupnya, kukenakan juga masker untuk melindungi hidung supaya debu tak ikut terhirup, sedang senter masih tetap ku genggam dan dengan setia menemaniku. Saya bilang pada teman teman,”hey… banguunnn, sudah banyak yang pada naek, aku mau naik dulu”, kataku sambil bergegas ke jalur pendakian.
Saya mendaki kepuncak dengan pelan pelan sambil menunggu teman teman. Tak lama kemudian terdengar suara teman temanku dibawah, saya tak bisa melihatnya karena keadaan masih gelap dan lampu senterpun jauhnya cuma beberapa meter karena terhalang kabut. Ternyata semua temanku sudah pada naik dan semua barang bawaan kami tinggal di tenda, hal itu memang sudah umum bagi para pendaki Gunung Semeru ketika menuju puncak, semua barang bawaan ditinggal ditenda dan cuma membawa seperlunya yang ringan dan utama/penting. Dalam pendakian dari arcopodo menuju puncak, kami melewati bukit pasir yang sangat curam dan mudah merosot. Dijalur ini terdapat beberapa bendera segitiga kecil berwarna merah sebagai penanda dan pembatas jalur.
Hari semakin terang dan suasana bertambah ramai, para pendaki yang menuju puncak sudah kelihatan jelas. Jalur pendakian memang sangat curam, itu bgitu menguras energi. Saya berjalan beberapa langkah kemudian berhenti untuk mengatur nafas, begitulah berkali kali yang saya lakukan sampai mencapai puncak. Saya sampai di puncak skitar jam enam pagi, ketika saya menengok kebawah, terlihat temanku sogi dengan tergesa gesa mempercepat langkahnya ke puncak.
“waah cepatnya…”, kelakarku.
“kebeleett… nie perut udah ga’ bisa diajak kompromi” jawabnya sambil bergegas mencari tempat yang nyaman untuk menuntaskan hajatnya.
“kamu tuu.. jauh jauh kepuncak semeru cuma mau nge-tab doank”, timpalku sambil ketawa.
Saya memutari puncak Gunung Semeru untuk melihat pemandangan sekeliling, Subhanallah… benar terasa keagungan Sang Pencipta. Tampak tak berapa jauh di selatan kepulan asap keluar dari kawah Jonggring Saloka, nama kawah Gunung Semeru.
Di Puncak, ternyata kami bertemu juga dengan salah satu kelompok pendaki yang masih satu kota dengan kami yang kemudian ikut bergabung dan ngobrol sambil berbagi bekal.
Setelah beristirahat sejenak sambil menunggu semua pendaki pada mencapai puncak, sekitar jam 07.00 pagi kami mengadakan upacara bendera 17 Agustus. Bisa jadi itu adalah upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI yang diadakan paling awal dibanding yang lain. Kami mengadakan upacara lebih awal karena kalau hari sudah sedikit beranjak siang, angin akan bertiup kearah puncak dan dikhawatirkan gas beracun dari kawah jonggring saloka akan terbawa sampai ke puncak.
Selesai upacara bendera, kami berfoto ria. Sedangkan aku yang tak begitu suka berfoto cuma menyingkir dan melihat saja tingkah polah teman teman yang sedang berfoto. Ku lihat mereka satu satu bergantian berfoto dengan seorang Kopassus yang berseragam lengkap, pak Jono namanya. Saya sendiri hanya sekali berfoto di puncak Mahameru yaitu bersama tim pendaki dari Jakarta. Setelah “session fotoria” kemudian kami turun dari puncak. Saya dan ipunk berjalan didepan, ipunk bilang padaku, ” kita meluncur aja biar cepat sampai”, katanya sambil menunjukkan cara dia meluncur. jadilah saya dan ipunk menuruni puncak Mahameru menuju arcopodo dengan meluncur seperti atlet ski es meluncur dari ketinggian. Dengan berhati hati agar tak terperosok, saya dan ipunk meluncur dengan cepat melewati pendaki lain yang sudah turun duluan dan sampai di arcopodo tak lebih dari 15 menit.
Tiba di Arcopodo, saya dan ipunk langsung menuju tenda lantas kembali melanjutkan tidur kami yang sempat tertunda karena terasa masih sangat ngantuk. Teman teman yang lain baru tiba di tenda sekitar jam setengah sepuluh dan langsung ikut ikutan tidur.
Matahari sudah jauh condong kearah barat ketika kami beranjak turun dari Arcopodo, karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Dengan sedikit mempercepat langkah, kami bergegas turun supaya tidak kemalaman di jalan dengan melewati kalimati kemudian jambangan. Saat saya menoleh kebelakang, Puncak Mahameru sudah tak kelihatan karena tertutup kabut.
Selanjutnya melewati Cemoro Kandang, Oro Oro Ombo dan menuruni Tanjakan Cinta. Di sepanjang perjalanan, kami tak berpapasan dengan pendaki lain karena kami memang paling akhir yang turun dari arcopodo.
Kami sampai kembali di Ranu Kumbolo ketika hari sudah mulai gelap. Saya mengira kami akan langsung menuju Ranu Pani dan bermalam disana namun ga’ taunya teman teman akan kembali ‘ngecamp’ lagi di Ranu Kumbolo. “Pengen mendokumentasikan salju dan kembali merasakan dinginnya udara di Ranu Kumbolo” kata nick. Saya dan Ipunk yang punya waktu terbatas karena harus kerja akhirnya tetap melanjutkan menuju ke Ranu Pani setelah say goodbye dengan saling bersalaman.
Hari memang benar benar mulai gelap ketika kami berdua meninggalkan Ranu Kumbolo. Kami berjalan bergegas menuju Ranu Pani untuk bermalam disana. Dengan penerangan senter yang kami bawa, kami mengeluarkan tenaga ekstra dengan mempercepat langkah untuk segera sampai. Kami melewati pendaki pendaki yang lain yang juga masih dalam perjalanan. Hanya kegelapan dan merdunya suara serangga hutan yang menemani kami disepanjang perjalanan.
Akhirnya kami sampai juga di Ranu Pani. Jarak sepanjang Ranu Kumbolo dengan Ranu Pani hanya kami tempuh sekitar satu jam perjalanan.
Di Ranu Pani saya bertemu kembali dengan kelompok pendaki yang satu kota dengan saya yang pagi hari itu jumpa di puncak. Saya dan ipunk langsung gabung dengan mereka. Dan sesuai rencana, kami akan ke gunung Bromo terlebih dahulu sebelum pulang.
Setelah istirahat sejenak, saya ke warung makan untuk mengisi perut yang sudah sangat lapar sambil minta informasi jalur menuju Gunung Bromo krn saya bermaksud untuk jalan kaki menuju Gunung bromo. Di warung makan saya bertanya pada penjual nasi, “bu, kalo mau ke Bromo jalur yg ditempuh lewat mana ya?”, tanya say. “itu lho, setelah sampai pertigaan Bantengan, ambil jalan yang menurun menuju arah lautan pasir”, jawab ibu penjual nasi menjelaskan.
Selesai makan saya menemui teman teman untuk menjelaskan, “Kita baiknya berangkat ke bromo dini hari aja krn paling disini kita juga kedinginan dan nggak bisa tidur. Dari pada kedinginan lebih baiknya buat jalan, buat bergerak kan malah hangat. Lagian berangkat pagi pagi lebih nyaman ga cepat lelah”, kataku pada teman teman dan semua pada setuju.Malam itu saya memilih untuk tidur di rumah penduduk, sedang teman teman yg lain memilih untuk tidur di tenda.

Ternyata malam itu juga sangat dingin, jam tiga saya bangun dan mendatangi tenda tempat teman saya pada tidur namun tak tampak ada yg bangun, jadinya saya kembali untuk melanjutkan tidur.Pagi hari kami bingung untuk menuju Bromo krn kesulitan mencari mobil untuk kami sewa. Setelah cari sana sini, saya dapat jug mobil hardtop untuk kami sewa menuju ke Gunung Bromo.
Tak berapa lama berjalan, rasanya sial juga krn hardtop yg kami carter mogok ditengah jalan, kami terpaksa nunggu mobil lain yg berpapasan untuk mengoper kami.
Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya kami sampai juga lautan pasir taman Tengger Bromo semeru. Tampak menghampar lautan pasir seluas 5.250 hektar yang berada pada ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut.
Hardtop yg kami tumpangi menderu-deru melaju menuju Gunung bromo, debu-debu beterbangan menyesakkan dada karena hampir-hampir kami tak bisa bernapas sampai sampai teman saya ada yg berteriak… “berhenti… berhentiii… kayak mau mati  aja nih ga’ bisa bernafas”, teriaknya karena pekatnya debu yg menerpa kami.
“Rasain…. kalo kita tadi pagi-pagi jalan kaki kan nyaman” kataku sambil tertawa karena tingkah temanku tadi.

Sebenarnya menjelajah lautan pasir gunung Bromo dengan jalan kaki, dengan naik mobil ataupun dengan naik kuda semuanya punya kesan tersendiri yang sama-sama menakjubkannya.
Karena mobil tak boleh terlalu mendekat ke lokasi gunung Bromo karena sudah ada besi pancang sebagai pembatas bahwa mobil hanya boleh sampai disitu maka kami turun dari mobil dan langsung berjalan menuju Gunung Bromo. Hari sudah sangat terik ketika itu karena matahari tepat di atas kami sehingga kami cepat kelelahan apalagi saat naik mobil, perut kami serasa di kocok kocok. sebelum sampai di Gunung Bromo, kami melewati sebuah pura hindu. Dan akhirnya kami sampai juga di kaki Gunung Bromo tapi kami tak menjumpai satupun rombongan wisatawan karena mungkin sudah siang dan sangat panas atau bisa jadi karena memang bukan musim kunjungan wisata ke Bromo.
Kunjungan wisatawan ke Gunung Bromo sangat ramai pada saat Upacara Kasodo. Upacara Kasodo diselenggarakan setiap tahun pada bulan kesepuluh penanggalan jawa yaitu sekitar bulan pada saat bulan purnama.
Dikaki Gunung Bromo, saya langsung duduk beberapa saat karena kelelahan yg mendera dan panas yang menyengat, terasa malas untuk mendaki tangga menuju puncak Gunung Bromo tersebut. Teman teman sudah ada yg bergerak naik, saya ikut berjalan juga kepuncak biarpun sangat lelah.
Ipunk bilang padaku “yuuk tas kita kita sembunyikan aja” katanya sambil mengajakku menuju semak. Akhirnya saya dan Ipunk menyembunyikan tas yg kami bawa didalam semak.
Karena tanpa barang bawaan, saya dan Ipunk bisa berjalan lebih cepat dan mendahului teman teman saya yg sudah ada di depan. “heihh tasmu ditaruh dimana?”, teriak seorang teman yg saya lewati. Saya dan Ipunk hanya tertawa tapi kemudian saya bilang juga kalo saya sembunyikan didalam semak, dan kemudian pada ikutan juga tasnya disembunyikan di semak. Setelah menapaki anak tangga yg jumlahnya 250 itu, seluruh jerih payah kami seolah lunas sudah begitu sampai di puncak Bromo. Terlihat jelas kedalaman kawahnya yang bergaris tengah 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat). Kusapukan pandangan ke sekeliling, Disebelah Gunung Bromo berdiri tegar Gunung Batok dengan guratan guratan khasnya yang kalo dari kejauhan seolah membentuk garis garis diagonal dari satu titik diatas dan melebar ke bawah, lautan pasir menghampar sejauh mata memandang, subhanallah… sekali lagi begitu terasa keagungan Sang pencipta.
Menuruni puncuk Gunung Bromo, kami langsung berjalan melintasi lautan pasir menuju Cemoro Lawang.
Cemoro Lawang adalah Salah satu pintu masuk taman nasional yang banyak dikunjungi untuk melihat dari kejauhan hamparan lautan pasir, menuju Gunung Bromo, berkemah dan melihat matahari terbit.
Setelah sholat dzuhur di sebuah Musholla di Cemoro Lawang yang di halamannya tumbuh edelweis yang sedang berbunga, kami naik angkutan menuju Probolinggo. Kami sampai di terminal Probolinggo sore hari, disitu kami baru merasakan kembali segarnya air dengan mandi setelah selama empat hari tidak mandi sejak terakhir mandi tanggal 14 Agustus. Saya juga sempat menyemir sepatu biar tampak kembali kinclooong..
Dari terminal Probolinggo, kami naik bus menuju terminal Bungurasih Sidoarjo. Di Bungurasih, sambil menunggu malam kami mengisi perut yang sudah lapar & ada juga beberapa teman yang ke mall yang tak jauh dari terminal untuk beli pakaian.
Sekitar jam sembilan malam baru kami naik bus menuju Semarang. Karena memang sangat kelelahan sepanjang perjalanan kami lebih banyak tidur.
Bus yang membawa kami tiba di Semarang menjelang subuh dan langsung oper menuju tempat kami. Jam 5 pagi saya sampai di rumah.
Sungguh 5 hari perjalanan yang menakjubkan